opss, sorry. foto hanya pemanis
|
Demi Ayah
(Penulis: Sang
Bocah Kuclu/ penulis Buku “Sahabat Tanpa Perhatian”)
Sejak 10 tahun yang lalu, aku
dibesarkan oleh Kakek dan nenek. Dirumah kecil beratapkan kayu, dengan
kehidupan yang penuh kesengsaraan. Namaku Anjas, bocah desa yang berusia 16
tahun. Aku lahir di Nawangsari, dikampung sebelah Ibu melahirkanku.
Diusia 10 tahun, aku adalah bocah yang
pendiam. Dulu ketika teman-temanku pada bermain, aku hanya dirumah, berdiam
diri dan berbaring di atas tikar. Aku melamunkan hal itu, bagaimana aku dapat
bermain bersama teman-teman layaknya bocah lainnya. Ayahku seorang sopir truk
yang membawa karet dan sawit. Ia jarang sekali pulang kerumah, begitupun dengan
Ibuku. Mereka asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Mbakku yang bernama
Ajeng, usianya tak jauh dari ku juga merasakan hal sama denganku, hari-harinya
selalu kesepian tanpa belaian Ayah dan Ibu.
Sahabatku, baik dan lucu. Ia bernama
Angga, sering disapa dengan Kolek atau Gundol. Hah namanya sungguh aneh dari yang lain. Muasal, nama itu ada
filosofisnya, katanya. Dihari yang diguyur oleh hujan lebat, Kolek datang
kerumahku, ia memanggilku dari luar dengan intonasi yang keras.
“Njas. Anjas….” Raganya basah kuyup.
Memang guyuran hujan tak ada petir dan angin lebat seperti biasanya. Jadi
banyak temanku yang bermain air hujan kecuali aku.
“Cekleekkk…Dor.
Anjas kau hendak kemana?” Celetuk Mbakku dari dalam kamar. Ia tahu kalau
diluar ada temanku yang mengajak bermain.
“Aku mau mandi air hujan sama Angga.
Boleh ya?” Jawabku dengan lirih. Memang Mbakku rada galak ketika marah.
“Nanti kau sakit, sudah dirumah saja.”
“Boleh Mbak ya, sekali ini saja!”
Lirihku seraya membujuk.
“Iya sudah, jangan lama-lama.” Jawabnya
dengan penuh perhatian.
Kolek telah menunggu lama, aku tak enak
dengannya.
“Ayo” Ajakku kepadanya.
“Kau kelak dimarahi?” Tanya Kolek
seraya berlari kearah teman-teman yang lainnya.
“Tak, aku sudah izin dengan Mbakku.
Kebetulan Ayah dan Ibu sedang tak ada.”
“Nanti, kalau ketahuan oleh Nenekmu
bagaimana?” Kolek takut ia kena marah oleh salah satu keluarganya jika tahu
bermain air hujan.
Ragaku memang rentan, aku sering sakit
jika kedinginan. Tapi kedua orang tuaku tak pedulikan itu. Hanya Kakek, Nenek
dan Mbakku yang perhatian denganku. Terkadang aku bingung hal apa yang membuat
kedua orang tuaku begitu. Memang, ragaku bermain air hujan bersama teman lainnya.
Berlari-lari, saling kejar-mengejar dan merasakan kebahagiaan seperti anak-anak
lainnya.
Di sela guyuran hujan, terbesit olehku.
Perhatian, kasih dan sayang Ayah-Ibu terhadap diriku. Terkadang aku iri dengan
yang lain. Ketika berangkat sekolah selalu di beri uang jajan dan belaian kasih
sayang. Tapi tidak untuk diriku. Aku merasa sedih.
Di tengah guyuran hujan, aku berdiri
ditengah tanah yang lapang dan berdiam diri, kepalaku mengadah keatas.
“Aaaaaaaa….” Teriakku dengan keras.
“Hey
Anjas, ada apa dengan kau?” Tanya Kolek dengan keheranan.
Aku hanya diam.
“Woy,
ayolah kita bermain lagi.” Ajak Kolek, matanya mulai merah dan sayu.
Aku kedinginan, inginku berpeluk
denganmu Ayah-Ibu. Batinku selalu berkata begitu.
Ditengahh lapang aku merasa dingin,
mataku sayu dan tatapanku hampa. Aku merasa berada di alam yang berbeda.
“Dimana aku?” Ujarku dengan kebingungan.
***
“Anjas.
Anjas. Anjas. Bangun!” Ucap Kolek. Entah apa yang terjadi pada diriku,
tiba-tiba ia membangunkanku. Badanku terasa sakit semua, mataku gelap menatapnya.
Aku rada mengangkat kepala dan
melihat keadaan sekitar, ternyata aku sudah di depan teras Mbah Saimin; rumah
yang berada di depan tanah lapang tersebut.
“Ada
apa denganku?” Tanyaku olehnya.
“Kau
pingsan. Kita pulang saja, kau kedinginan dan muka mu sudah pucat.”Jawab Kolek.
Teman-teman pada mengerumuniku, mereka bingung apa yang terjadi. Tidak seperti
biasa aku bermain air hujan sampai pingsan seperti ini.
Akhirnya
aku dibawa kerumah, ketika di perjalanan.
“Teman-teman!
Terimakasih telah membantuku, silahkan lanjut bermain biar Kolek saja yang
menghantarkan.” Pintaku kepada teman-teman yang berniatan untuk
menghantarkanku.
Aku
takut Mbak marah ketika melihatku dengan keadaan seperti ini. Maka dari itu
teman-teman lain aku pinta untuk bermain kembali kecuali Kolek, takut
kecurigaan keluargaku terhadap diriku yang pulang dihantar sama banyak orang.
“Terimakasih Kolek.” Ucapku dengan lirih.
“Sama-sama,
cepat sembuh ya?” Jawabnya dengan senyuman indah, tangan kanannya yang berada
di pundakku, mengepaknya dengan kehangatan.
Sungguh
ia adalah sahabat terbaikku, setiapkala aku kesusahan ia hadir untuk menolong.
***
Dua
bulan kemudian, kedua orang tuaku selalu saja dirumah. Aku bingung, apakah
mereka tidak bekerja? Hanya berdiam diri dirumah saja? Ahh biarlah, untuk apa aku memikirkannya. Toh ketika mereka kerja pun tak pernah memberiku uang.
Ayahku
memang nakal, sedangkan Ibuku bersikap apatis terhadap diriku dan Mbakku. Hanya
Kakek dan Nenek yang begitu perhatian dengan kami. Aku merasa, dunia ini tidak
adil.
Setelah
beberapa minggu yang lalu, aku tidak pernah masuk sekolah. Melihat kondisi
keluargaku yang saat ini bingung kemana arahnya, aku memutuskan untuk bekerja.
Tetanggaku mengajakku untuk berkerja dengannya disalah satu pencucian mobil.
Akhir-akhir ini aku selalu memegang uang, penghasilan dari kerja kerasku.
Tiba-tiba Ibuku berkata:
“Anjas,
belikan Ayahmu Rokok” Perintah Ibunya dengan keras, mata rada melotot dan menunjuk-nunjuk.
Saat
itu, malam hadir sebagai acaman. Suasana tak lagi sunyi, aku hanya terdiam dan
mendengarkan perkataan Ibuku. Bagaimana pun mereka tetap orang tua yang telah
melahirkanku, rasa sakitnya adalah rasa sakit bagiku.
“Iya
Bu!” Jawabku dengan lirih, kepala menunduk dan sesekali aku menolehnya.
Malam
hari aku mencari Rokok untuk Ayahku. Sedangkan ia hanya duduk santai di teras.
Ketika aku henda pergi ke warung terdekat, setelah keluar dari pintu Ayahku
memanggil.
“Anjas.
Jangan lupa beli cemilan.” Dengan tegasnya ia memerintah tanpa rasa bersalah.
Aku
diam, menganggukkan kepala dan sedikit meliriknya. Diriku takut dengannya,
setelah mereka tak bekerja lagi, sikap dan perilaku terhadapku makin berbeda.
Mbakku
tak tega melihatku, ia hanya menangis dari dalam kamar dan tak berani untuk
keluar. Setiap malam aku membelikannya rokok, setiap hari aku bekerja, sampai
tangan dan kaki medok karena terendam
air.
***
Demi
Ayah dan Ibuku, aku rela bekerja untuk memenuhi keinginannya. Biarlah aku
menderita asalkan mereka tidak menderita. Aku percaya pada jiwa ini, ia tegar
dalam menghadapi cobaan.
Tatkala
aku menangis ketika bekerja seraya mengusap mobil.
“Ada
apa Anjas, kok menangis?” Tanya Om Eeng, rekan kerjaku.
“Tak
apa-apa Om.” Jawabku dengan lirih, mengusap air mata dengan baju lusuh.
Sebenarnya,
aku tidak masalah uang kerjaku untuk membeli rokok Ayah, tapi satu yang aku
inginkan adalah kasih sayangnya terhadapku; berpeluk erat dikala ku sedih
menahan sengsaranya hidup ini.
Demi
Ayah aku bekerja, demi Ibu aku membelikan rokok. Demi keluarga aku rela
mati-matian, banting tulang, dan menahan sengsara. Setiap hari hanya menahan
gelak tangis tanpa suara, bantinku sakit. Sedangkan Ayah bersikap bodo amat denganku.
Ayah,
lekas kau sembuh dari sikapmu itu. Ajak Ibu mencari kebahagiaan bersama anakmu
ini. Kami membutuhkan kasih sayang kalian, belaian kasih dan kecup kehangatan.
Duduk bersama menikmati roti seraya menonton tv, bersenda gurau dan berbahagia.
Tapi, mengapa saat ini tidak kau lakukan Ayah. Aku menantikan hal itu, hanya
itu pintaku.
tinggal kan pesan dan kesan untuk kita, arigato gozaimaasu.
0 Komentar untuk "Cerita pendek inspiratif bikin haru!| Demi Ayah"
Mohon untuk memberikan saran dan kritik demi penyempurnaan penulisan